Imam Malik Bin Anas

Darul Hijrah itu adalah negeri tempat hijrah. Yang dimaksud di sini adalah negeri tempat hijrahnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dari Makkah ke Yatsrib yang kemudian dinamakan Al-Madinah An-Nabawiyah atau disingkat dengan kota Al-Madinah. Sekian banyak hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam yang menerangkan tentang keutamaan kota ini di sisi Allah Ta`ala. Sehingga kota ini terkenal sebagai kota termulia kedua di dunia setelah Al-Makkatul Mukarramah. Di antara hadits-hadits itu antara lain ialah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya jilid 2 halaman 299 dan At-Tirmidzi dalam Sunannya hadits ke 2680 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya hadits ke 2308 dan Al-Hakim dalam Mustadraknya jilid 1 halaman 91 dan Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra jilid 1 halaman 386 dan dihasankan oleh At-Tirmidzi serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Penshahihan Al-Hakim ini disepakati oleh Adz-Dzahabi. Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah bersabda:
Sebentar lagi akan datang suatu masa dimana orang akan menunggangi ontanya menempuh jarak yang jauh untuk menuntut ilmu. Maka pada waktu itu mereka tidak mendapati seorang pun yang lebih tinggi ilmunya dari Ulama’ kota Al-Madinah.” Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam menerangkan hadits ini menyatakan: “Sebagian kaum Muslimin ada yang mengatakan bahwa Ulama’ Al-Madinah yang dimaksudkan di hadits ini adalah Al-Umari, namun kaum Muslimin menganggap bahwa yang lebih utama dengan kemuliaan ini adalah Malik bin Anas.”

Yang dimaksud Imam Ahmad dengan Al-Umari di sini ialah Al-Imam Abdul Aziz bin Abdullah Az-Zahid dari anak cucunya Umar bin Al-Khattab. Kemudian Al-Imam Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah At-Tirmidzi menerangkan dalam Sunannya setelah membawakan hadits ini: “Dan telah diriwayatkan bahwa Sufyan bin Uyainah pernah ditanya tentang maksud hadits ini: Siapakah Ulama’ yang dimaksud hadits ini? Beliau menjawab: Ulama’ yang dimaksud di sini adalah Malik bin Anas. Aku (yakni At-Tirmidzi) mendengar juga dari Yahya bin Musa bahwa Abdur Razzaq telah menyatakan bahwa yang dimaksud Ulama’ Al-Madinah di hadits ini adalah Malik bin Anas.” Abdurrazzaq yang dimaksud di sini adalah Al-Imam Al-Hafidh Abu Bakar Abdurrazzaq bin Hammam As-Shan’ani salah seorang gurunya Imam Ahmad bin Hanbal.

Demikian tinggi kedudukan Al-Imam Malik bin Anas Al-Asbahi ini sehingga disebut-sebut oleh para Ulama’ yang selevel dengan beliau bahwa beliaulah yang paling pantas dengan kedudukan yang disebutkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dalam sabdanya tersebut di atas. Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi merinci dalam kitab beliau berjudul Siar A’lamin Nubala’ jilid 8 halaman 57 tentang kedudukan Imam Malik bin Anas Al-Asbahi dibandingkan dengan para Ulama’ yang lainnya sebagai berikut: “Ulama’ yang tinggal di kota Al-Madinah sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dan sepeninggal dua orang Shahabat beliau yaitu Abu Bakar dan Umar, adalah Zaid bin Tsabit dan A’isyah Ummul Mu’minin. Kemudian setelah keduanya meninggal, adalah Abdullah bin Umar bin Al Khattab. Kemudian setelah Abdullah bin Umar bin Al-Khattab meninggal, adalah Sa’ied bin Al-Musayyib. Setelah itu adalah Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri, dan setelah itu adalah Ubaidillah bin Umar bin Al-Khattab, dan kemudian, adalah Imam Malik bin Anas.”

Dengan begitu istimewanya kedudukan ilmu beliau dan sekaligus keulama’an beliau, adalah sangat penting bagi Ummat Islam untuk mengenali dan mengerti perihidup beliau untuk menimba mutiara hidup darinya.

MASA KECIL MALIK BIN ANAS AL-ASBAHI

Beliau lahir di kota Al-Madinah An-Nabawiyah pada tahun 93 H bersamaan dengan tahun meninggalnya pembantu Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam yang bernama Anas bin Malik radliyallahu `anhu. Beliau lahir di keluarga yang kaya raya dalam kehidupan serba ada dari pasangan suami istri Anas bin Malik Al-Asbahi dengan Aliyah bintu Syarik Al-Azadiyah. Ayah Malik bersama dengan beberapa orang pamannya, yaitu Anas, Uwais dan Abi Suhail, Ar-Rabi’ dan An Nadhir Al-Asbahi adalah para Ulama’ di Al-Madinah yang menjadi rujukan periwayatan ilmu para Ulama’ lainnya dari kalangan Ahli Hadits. Bahkan Ulama’ Ahli Hadits terkenal, yaitu Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri telah meriwayatkan hadits dari ayah Malik dan juga dari kedua pamannya yaitu Uwais dan Abi Suhail. Sementara itu kakek Malik bin Anas yaitu Abu Amir bin Amr bin Al-Harits bin Ghaiman bin Hutsail bin Amr bin Al-Harits Al-Himyari Al-Asbahi, adalah seorang Ulama’ besar dari kalangan At-Tabi’in (yakni generasi kedua dari kalangan Salafus Shalih yang belajar ilmu dari para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam di masa hidup mereka). Jadi disamping beliau lahir dari keluarga berada, beliau pun hidup di dalam lingkungan keluarga Ulama’ dan dari turunan Ulama’ Ahli Hadits. Malik hidup dalam kandungan ibunya selama tiga tahun, sehingga akhirnya dilahirkan di Al-Madinah An-Nabawiyah.

Malik bin Anas belajar menuntut ilmu dari sejak usia belasan tahun dan diriwayatkan bahwa beliau mulai belajar ketika Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar As-Shiddiq masih hidup. Al-Qasim ini adalah salah seorang cucu Abu Bakar As-Shiddiq yang terkenal dengan keilmuannya di kalangan para Ulama’ Tabi’in. Juga waktu itu masih hidup Ulama’ Tabi’in lainnya yang terkenal di kalangan Ahli Hadits zaman itu, yaitu Salim bin Abdillah bin Umar bin Al-Khattab. Namun beliau berdua meninggal dunia sebelum Malik sempat belajar dari keduanya. Meskipun demikian, masa itu memang masa keemasan Islam. Ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah sedang sangat digandrungi oleh kaum Muslimin, sehingga negeri-negeri Muslimin penuh dengan majlis-majlis ilmu di berbagai kota dan desa dan ummat Islam sibuk mengerumuni para Ulama’nya untuk menimba ilmu. Malik bin Anas berkesempatan untuk duduk di majlisnya para Ulama’ di zaman beliau. Adz-Dzahabi menyebutkan puluhan guru Malik bin Anas, antara lain Al-Imam Nafi’ maula Ibni Umar, Sa’id Al-Maqburi, Amir bin Abdillah bin Az-Zubair bin Al-Awwam, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri, Abdullah bin Dinar dan masih banyak lagi. Sehingga karena kecerdasan, kesungguhan dan ketaqwaan beliau, dalam usia dua puluh satu tahun, beliau sudah mulai duduk sebagai pengajar menyampaikan ilmu. Majlis beliau dihadiri oleh para Ulama’ Ahli Hadits untuk mengambil riwayat dari beliau.

Dalam beberapa saat saja, beliau sudah menjadi tujuan Ummat Islam dari berbagai penjuru dunia untuk menimba ilmu daripadanya. Nama beliau mulai terkenal pada masa akhir pemerintahan Abu Ja’far Al-Mansur, dan pada jaman pemerintahan Harun Ar-Rasyid orangpun berdesak-desakan menghadiri majlis ilmu beliau. Sehingga terkenal-lah gelarnya sebagai Imam Daril Hijrah Abu Abdillah Malik bin Anas Al-Asbahi.

BEBERAPA PERISTIWA PENTING DALAM HIDUP BELIAU :

Tidak ada sejarah hidup anak manusia yang mulus tanpa aral melintang serta asam garam dan pahit getirnya perjalanan hidup di dunia ini. Lebih-lebih lagi perjalanan hidup orang-orang besar, seperti para Nabi dan para Rasul, juga para Shahabat beliau dan kemudian para Ulama’ auliya’ullah (kekasih Allah). Demikian pula kehidupan yang dijalani Imam Malik bin Anas Al-Asbahi.

Diriwayatkan oleh Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi rahimahullah dalam Siar A’lamin Nubala’ jilid 8 halaman 79 – 80, dari beberapa Imam Ahlil Hadits dengan sanadnya tentang peristiwa petaka yang dialami Imam Malik bin Anas Al-Asbahi sebagai berikut:

Muhammad bin Jarir berkata: Malik telah dihukum cambuk dan telah diperselisihkan penyebab beliau dicambuk. Maka Al-Abbas bin Al-Walid telah menceritakan padaku, beliau mendapatkan berita dari Ibnu Dzakwan, dari Marwan At-Thathari, bahwa Abu Ja’far (yakni Al-Mansur, khalifah kedua dari dinasti Abbasiyah, pent) telah melarang Malik untuk membawakan sebuah hadits yang berbunyi (artinya): “Tidak sah cerai yang dijatuhkan oleh seorang suami yang dalam keadaan dipaksa.” Kemudian ada orang yang diselundupkan ke majlisnya untuk menanyakan tentang hadits ini, sehingga Malik membawakan hadits ini di depan khalayak ramai. maka Khalifah Abu Ja’far pun menghukumnya dengan dicambuk.

Al-Abbas menceritakan pula, akibat dicambuk itu, Imam Malik mengalami cidera pada tangan beliau sehingga bila beliau akan berdiri dari majlisnya maka beliau mengangkat tangan yang satunya dengan tangan yang lainnya.

Al-Imam Ibnu Sa’ad meriwayatkan bahwa Al-Waqidi telah menceritakan kepadanya: Ketika Malik dipanggil oleh gubernur Madinah, diajak musyawarah oleh sang gubernur dan pendapat Malik kemudian didengar dan diterima olehnya, orang mulai mendengki kepada beliau dan mereka pun mendhalimi beliau dengan berbagai bentuk kedhaliman. Maka di saat Ja’far bin Sulaiman diangkat sebagai gubernur baru kota Al-Madinah, orang-orang pun berupaya menghasudnya untuk memusuhi Malik. Mereka menyampaikan berbagai informasi yang kiranya membuat sang gubernur marah kepada Malik. Mereka menyampaikan kepada Gubernur bahwa Imam Malik berpendapat bahwa sumpah pembaiatan gubernur itu tidak sah, karena beliau berpegang dengan hadits yang diriwayatkan dari Tsabit bin Al-Ahnaf yang menyatakan tidak sahnya pernyataan thalaq (yakni cerai) yang diucapkan dalam keadaan terpaksa (dari hadits ini dipahami bahwa bai’at bagi seorang pejabat bila dilakukan dengan terpaksa maka bai’at itu tidak sah sebagaimana thalaq yang terpaksa juga tidak sah, pent). Maka gubernur Ja’far bin Sulaiman akhirnya marah besar dengan pemberitaan tersebut dan dipanggillah Malik menghadap gubernur. Sempat dalam pertemuan antara gubernur dengan Imam Malik, riwayat itu dijelaskan kepada gubernur untuk membantah penafsiran para pelapor itu kepadanya. Namun sang gubernur telah termakan oleh pemberitaan itu dan tidak bisa lagi menguasai kemarahannya sehingga dia memerintahkan agar Malik dicambuk sampai tangannya ditarik sehingga terlepas (tulangnya) dari pundaknya. Namun meskipun demikian, demi Allah setelah kejadian itu, Imam Malik tetap saja dalam ketinggian derajat dan kemuliaannya.

Al-Hafidh Abu Nu`aim Al-Asfahani rahimahullah meriwayatkan dalam Al-Hilyahnya jilid 6 halaman 316 dari Ahmad bin Ishaq, beliau mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid, beliau menyatakan: Aku mendengar Abu Dawud mengatakan: Ja’far bin Sulaiman telah memukul Malik bin Anas dalam perkara pendapat beliau bahwa thalaq yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya dengan terpaksa itu tidak sah. Dan telah menceritakan kepadaku sebagian murid Ibnu Wahhab dari Ibnu Wahhab, beliau menceritakan bahwa Imam Malik ketika dicambuk di depan umum, beliau digundul rambutnya dan dibawa di atas punggung onta. Maka dikatakan kepadanya: “Silakan engkau teriakkan untuk mengangkat dirimu sendiri.” Maka Imam Malik berteriak di depan umum dengan menyatakan: Siapa yang telah mengenal aku, maka dia telah mengenal aku. Dan barangsiapa yang belum mengenal aku, ketahuilah bahwa aku ini adalah Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Asbahi. Dan aku menyatakan bahwa thalaq yang dijatuhkan dengan terpaksa, adalah tidak sah sama sekali.” Maka disampaikanlah seruan Malik bin Anas di depan umum ini kepada Ja’far bin Sulaiman. Demi mendengar laporan itu, sang amir pun segera memerintahkan: “Susullah dia dan turunkanlah dia dari atas untanya (yakni biarkan dia pulang kerumahnya, pen).”

Meskipun Imam Malik didhalimi sedemikian berat, ketika di kota Al-Madinah terjadi pemberontakan Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan terhadap pemerintahan Abbasiah dibawah Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur, Imam Malik dimintai fatwa bagaimana hukumnya mendukung pemberontakan tersebut. Maka beliau menerangkan: “Kita telah berbaiat kepada pemerintahan Abu Ja’far (yakni kita tidak boleh memberontak terhadapnya dengan telah berbai’at itu).” Maka orang pun membantahnya dengan menyatakan: “Kalian telah bai’at kepadanya dengan terpaksa maka bukankah tidak sah sumpah janji taat (ya’ni bai’at) yang terpaksa.” Sehingga banyak orang-orang di Al-Madinah tidak mendengarkan lagi nasehat Imam Malik dan mereka bersegera mendukung pemberontakan tersebut. Imam Malik pun akhirnya mengunci diri di dalam rumahnya karena tidak mau terlibat dalam pemberontakan tersebut sampai pemberontakan itu dipadamkan oleh Khalifah Abu Ja’far dengan kekerasan dan terbunuhlah Muhammad bin Abdullah bin Al Hasan. Demikian Imam At-Thabari meriwayatkannya dalam Tarikh beliau jilid 7 halaman 560.

Allah ternyata tidak saja menguji beliau dengan kepahitan, Dia pun menguji beliau dengan godaan kemanisan hidup, dan memang demikianlah sunnatullah dalam kehidupan dunia. Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad bahwa Muhammad bin Umar telah menceritakan kepada beliau, dia pernah mendengar Malik menceritakan tentang dirinya: “Ketika Khalifah Al-Mansur menunaikan ibadah haji, beliau memanggil aku. Maka aku pun masuk menemui beliau. Aku berbincang dengan beliau dan beliau menanyakan kepadaku beberapa masalah agama dan aku menjawabnya.”

Kemudian Al-Mansur pun menyatakan kepadaku: “Aku bertekad mengeluarkan perintah untuk keperluan kitabmu ini, yakni Al-Muwattha’, sehingga kitab ini dibikin salinannya dengan beberapa naskah. Kemudian akan aku kirim kitab ini ke berbagai wilayah Muslimin masing-masing satu naskah. Dan aku perintahkan kaum Muslimin untuk mengajarkan isi kandungan kitab tersebut, serta meninggalkan segala pendapat lain yang di luar kitab tersebut dari ilmu yang baru. Karena aku berpandangan bahwa pokok ilmu agama itu adalah riwayat dari kota Al-Madinah dan ilmu mereka.”

Akupun (yakni Imam Ahmad) menasehatkan kepada beliau: “Wahai Amirul Mu’minin, jangan engkau lakukan yang demikian. Karena kaum Muslimin telah biasa di kalangan mereka mendengar berbagai pendapat tentang agama ini, dan mereka juga telah terbiasa mendengar berbagai hadits serta mereka juga telah terbiasa meriwayatkan berbagai riwayat. Sehingga setiap kaum telah berpegang dengan berbagai pendapat yang sampai kepada mereka serta beramal dengannya dan tunduk kepadanya. Dalam berbagai riwayat itu terdapat berbagai bentuk riwayat perbedaan pendapat di kalangan Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam wa radliyallahu `anhum ajma`in dan juga perbedaan pendapat dari selain Shahabat Nabi. Maka memaksakan mereka untuk berubah dari apa yang mereka telah meyakininya adalah perkara yang amat berat. Oleh karena itu biarkanlah kaum Muslimin menjalani apa yang mereka terbiasa padanya dan pada apa yang telah dipilih oleh penduduk setiap negeri Muslimin bagi diri mereka.”

Al-Mansur setelah mendengar nasehatku, maka dia langsung menyatakan: “Demi umurku, seandainya engkau menganggap baik ideku tadi, niscaya aku akan laksanakan.”

Demikianlah ujian demi ujian dilalui Imam Abu Abdillah Malik bin Anas Al-Asbahi, sampai akhirnya pada tgl. 13 Rabi’ul Awwal tahun 179 H, beliau wafat pada usia 86 th di Al-Madinah dan dikebumikan di kuburan Al-Baqiq. Menurut catatan para murid beliau dan juga putra beliau yang bernama Yahya bin Malik bin Anas Al-Asbahi, Imam Malik meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang berlimpah dalam puluhan ribu dinar emas dan dirham perak. Juga meninggalkan rumah yang indah lengkap dengan perabotannya yang serba mahal. Adz Dzahabi menyatakan: “Imam ini adalah termasuk dari para pembesar ummat yang hidupnya dalam gelimang kesenangan, dan beliau adalah dari kalangan Ulama’ yang tampil dengan kewibawaan dan pakaian yang indah, diiringi budak-budak belian yang banyak, rumah yang megah, dan berbagai penampilan kenikmatan, serta ketinggian derajat di dunia dan akherat. Beliau adalah orang yang mau menerima hadiah dan makan dengan makanan yang enak dan suka beramal shalih.”

Diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi bahwa Yahya bin Yahya An-Naisaburi telah memberikan hadiah kepada Imam Malik dengan sesuatu, yang ketika hadiah tersebut dijual, harganya lebih dari delapan puluh ribu dinar emas. Beliau meninggalkan empat orang anak yang shalih dan shalihah, yang bernama: Yahya, Muhammad, Hammad dan Ummul Baha’.

Namun peninggalan beliau yang jauh lebih mahal dan tak ternilai lagi mahalnya adalah peninggalan ilmu dan murid-murid para kader beliau yang kemudian menjadi Ulama’, menebarkan ilmu ke berbagai penjuru dunia. Karya ilmiah beliau yang paling monumental ialah kitab Al-Muwattha’. Dan murid beliau yang paling terkenal adalah Imam Syafi’ie yang sangat mengagumi dan menghormati beliau. Semoga Allah merahmati Imam Malik dan membangkitkannya di hari kiamat dalam kalangan para Ulama’ kekasih Allah bersama para Nabi dan Rasul Allah serta para Shahabat mereka. Dan semoga kita diberi anugerah nikmat taufiq dari Allah untuk bisa mewarisi ilmu beliau dan beramal dengannya serta bangkit di hari kiamat bersama beliau. Amin ya Mujibas sa’ilin.

BEBERAPA WASIAT BELIAU UNTUK KITA YANG HIDUP

Al-Imam Malik bin Anas Al-Asbahi telah tiada dan beliau telah meninggalkan warisan ilmu yang tak terhingga mahalnya. Beberapa tetes ilmu dari samudera ilmu beliau kami nukilkan di sini dalam bentuk beberapa wasiat yang merupakan mutiara-mutiara hikmah yang perlu kita menyimaknya dan memahaminya. Camkan riwayat-riwayat berikut ini:

1). Abu Nu`aim Al-Asfahani meriwayatkan dengan sanadnya dalam kitab Hilyatul Auliya’ jilid 6 halaman 324 nasehat Imam Malik bagi orang yang menuntut ilmu agama Allah, beliau menyatakan: “Adalah merupakan kewajiban atas orang yang menuntut ilmu untuk bersikap rendah hati dan tenang serta mempunyai rasa takut untuk bermaksiat kepada Allah, dan hendaknya dia mengikuti jejak langkah orang-orang yang telah berlalu dari generasi sebelumnya (yakni generasi Salafus Shalih).”

2). Abu Hatim Ar-Razi meriwayatkan bahwa Abdul Muta’al bin Shalih, salah seorang murid Imam Malik menceritakan: Pernah ada yang mengatakan kepada Imam Malik: “Engkau adalah orang yang suka mendatangi para pejabat pemerintah, padahal mereka suka berbuat dhalim dan berbuat jahat.” Maka Imam Malik menjawab omongan orang tersebut dengan menyatakan: “Semoga Allah merahmatimu, dimana pula orang akan berbicara tentang kebenaran kalau aku tidak masuk mendatangi mereka.”

3). Al-Imam Al-Hafidh Yusuf bin Abdullah bin Muhammad Ibnu Abdil Bar rahimahullah dalam Al-Intiqa’ telah meriwayatkan omongan Imam Malik yang menyatakan: “Tamengnya orang yang berilmu adalah pernyataan: Saya tidak tahu. Maka apabila dia melalaikannya, dia akan terbunuh karenanya (yakni binasa).”

Al-Haitsam bin Jumail menceritakan: “Aku mendengar Imam Malik ditanya dengan empat puluh delapan pertanyaan. Tetapi beliau menjawab tiga puluh pertanyaan daripadanya dengan pernyataan: Saya tidak tahu.”

4). Al-Hafidh Abu Nu`aim Al-Asfahani meriwayatkan dalam Hilyahnya, nasehat Imam Malik bin Anas sebagai berikut: “Adalah merupakan kewajiban atas orang yang menuntut ilmu agama ini, untuk bersikap rendah hati dan tenang serta takut kepada Allah. Ilmu agama ini akan menjadi baik bagi siapa saja yang dianugerahi kebaikan ilmu. Dan ilmu ini adalah pembagian Allah, maka jangan beri peluang orang lain untuk merebut bagianmu. Karena adalah termasuk kebahagian orang itu bila diberi taufiq (bimbingan) oleh Allah kepada kebaikan, dan adalah kebinasaan seseorang itu ialah bila terus menerus dalam kesalahannya. Dan dianggap tindakan menghinakan ilmu ini ialah bila seseorang berbicara dengan ilmu ini kepada orang yang diperkirakan tidak bakal mentaati ilmu yang disampaikan kepadanya itu.”

5). Al-Imam Al-Hafidh Ibnu Abdil Bar juga meriwayatkan dalam muqaddimah kitab At-Tamhid dari Al-Harits bin Miskin, beliau memberitakan: Telah memberitakan kepada kami Asyhab bin Abdul Aziz, beliau memberitakan: Aku bertanya kepada Al-Mughirah Al-Machzumi tentang kedudukan Imam Malik dibanding dengan kedudukan Abdil Aziz, meskipun aku tahu betapa jauh perbandingannya antara Imam Abdul Aziz dengan Imam Malik. Maka Asyhab pun menjawab: “Tidak bisa disebandingkan samasekali keduanya dalam perkara ilmu.” Dan Asyhab mengangkat setinggi-tingginya Imam Malik di atas Imam Abdul Aziz. Telah sampai berita kepadaku (yakni Asyhab) bahwa Mutharrif bin Abdillah An-Nisaburi Al-Asham muridnya Malik, beliau memberitakan: Pernah bertanya kepadaku Imam Malik, apa yang dikatakan orang tentang kitab Muwattha’ karya beliau. Maka aku katakan kepadanya: “Orang-orang terbagi dalam dua golongan, yaitu ada yang sangat mencintai Muwattha’mu dan ada yang amat sangat dengki kepadanya.” Dengan jawabanku ini Imam Malik menyatakan: “Bila umurmu nanti lebih panjang sepeninggalku, niscaya engkau akan melihat manakah dari kedua golongan manusia itu yang benar-benar menginginkan ridla Allah.”

Ibnu Abdil Bar meriwayatkan pula dari Abdullah bin Muhammad bin Yahya, beliau memberitakan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Amr Al-Qadhi Al-Maliki, beliau menyatakan: Telah menceritakan kepadaku Al-Mufadhdhal bin Muhammad bin Harb Al-Madani, beliau berkata: “Pertamakali yang menulis kitab Al-Muwattha’ dari penduduk Al Madinah adalah, –sebagaimana yang telah disepakati beritanya oleh penduduk Al-Madinah–, bernama Abdul Aziz bin Abdillah bin Abi Salamah Al-Majisyun, dan beliau ini menulis kitab tersebut tanpa disertai hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam.” Al-Qadli Muhammad bin Ahmad bin Amr menyatakan: Pernah Al-Muwattha’ karya Abdul Aziz Al-Majisyun ini ditunjukkan kepada Malik bin Anas. Maka beliau melihat isi kitab tersebut sehingga beliaupun menyatakan: “Betapa bagusnya karya beliau ini. Seandainyalah aku yang mengerjakan kitab ini niscaya aku akan memulainya dengan membawakan berbagai riwayat sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam, kemudian aku beri penjelasan riwayat-riwayat itu dengan membawakan riwayat omongan-omongan para Shahabat Nabi dan para Tabi’in.” Kemudian setelah itu Imam Malik bertekad untuk mengarang sendiri kitab Al-Muwattha’. Maka bersamaan dengan itu beberapa Ulama’ di Al-Madinah juga mengarang Al-Muwattha’ juga. Demi melihat kenyataan demikian, ada orang yang menegur Imam Malik: “Mengapa engkau menyibukkan dirimu untuk menulis kitab ini, padahal di Al-Madinah telah banyak orang yang juga ikut berbuat seperti engkau?” Maka Imam Malik menyatakan kepadanya: “Berikanlah kepadaku Al-Muwattha’-Al-Muwattha’ yang telah mereka tulis. Maka Imam Malik membaca kitab-kitab Al-Muwattha’ dari berbagai pengarang yang berbeda-beda itu, dan beliau kemudian melemparkannya. Dan kemudian beliau menyatakan: “Sungguh-sungguh kalian akan mengetahui nantinya bahwa tidak akan terangkat berbagai Al-Muwattha’ ini kecuali Al-Muwattha’ yang dikarang dengan ikhlas menginginkan wajah Allah.”

Al-Qadli menyatakan: “Seakan-akan berbagai kitab Al-Muwattha’ dari berbagai pengarang itu dilemparkan ke sumur sesudah itu, dan tidak dikenal lagi kitab Al-Muwattha’ setelah itu kecuali Al-Muwattha’ karya Imam Malik bin Anas saja.

SANJUNGAN PARA ULAMA’ TERHADAPNYA

Para Ulama’ yang sejaman dengan Imam Malik, baik yang ilmunya setingkat, apalagi yang di bawah beliau, semuanya menyanjung dan memuji serta mengagumi ketinggian derajat beliau. Berikut ini sanjungan para Ulama’ terhadap Imam Malik bin Anas Al-Asbahi:

1). Imam As-Syafi’i (Muhammad bin Idris As-Syafi’i) rahimahullah menyatakan: “Apabila riwayat ilmu dibacakan, maka Malik adalah bagaikan bintang.” Demikian diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyahnya jilid 6 halaman 318.

2). Imam Abdur Rahman bin Mahdi menyatakan: “Tidak ada lagi di muka bumi yang lebih dari Malik bin Anas yang aku percayai dalam meriwayatkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam.” Demikian diriwayatkan Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyahnya jilid 6 hal. 319.

3). Al-Qa’nabi memberitakan: “Kami pernah mendatangi Sufyan bin Uyainah dan kami melihatnya sangat sedih. Diberitakan kepadaku oleh murid-murid beliau bahwa Sufyan baru saja menerima berita tentang kematian Malik bin Anas rahimahullah. Kemudian Sufyan menyatakan: “Tidak tersisa lagi di muka bumi orang yang sehebat dia.” Demikian Abu Nu`aim Al-Asfahani meriwayatkan dalam Hilyahnya.

4). Ibnu Abdil Bar memberitakan dalam At-Tamhid jilid 1 halaman 65 bahwa Sa’ied bin Abdul Jabbar menceritakan: Kami pernah di majlisnya Sufyan bin Uyainah. Ketika sampailah kepada beliau berita kematian Imam Malik bin Anas Al-Asbahi. Maka Sufyanpun menyatakan: “Telah mati demi Allah junjungan kaum Muslimin.”

Dan masih banyak lagi pujian para Ulama’ terhadap Imam Malik. Bahkan telah ditulis berbagai kitab biografi Imam Malik oleh banyak Ulama’ yang menunjukkan betapa agungnya kedudukan Imam Malik bin Anas Al-Asbahi di hati kaum Muslimin.

Penutup

Demikianlah mutiara mutu manikam Ahlis Sunnah wal Jamaah yang Allah Ta`ala ciptakan di muka bumi untuk menjadi hujjah bagi Allah atas makhluqnya. Hidupnya adalah contoh pengamalan ilmu dan sekaligus sebagi menara ilmu bagi penduduk bumi, khususnya bagi kaum Muslimin dan lebih khusus lagi bagi Ahlis Sunnah wal Jamaah. Karena memang para Ulama’ itu adalah pewaris para Nabi dan Rasul. Allah Ta`ala Maha Sempurna dalam menciptakan makhluk-Nya yang dicintai-Nya serta Maha Sempurna dalam menganugerahkan bagi hamba-Nya kenikmatan terbesar di dunia ini, yaitu kenikmatan Iman, Ilmu, dan Amal. Semoga kita termasuk hamba-Nya yang beruntung meraih kenikmatan itu. Amin yaa mujibas sa’ilin.

Tentang lataghdhab
Herbal Shop Al-Khair | Mudah, Aman dan Amanah | Segala Kebaikan Obat Ada di Thibbun Nabawi dan Herbal Alami :: FORMAT PEMESANAN LEWAT SMS :: Jenis Produk, Jumlah#Nama#Alamat (RT/RW, Kel/ Kec, Kodepos)#No. HP#Bank KIRIM KE 081210110323. Barokallahu fykum

Tinggalkan komentar