Fatawa Hukum Televisi

Bagaimana para ulama melihat televisi dan kaidah hukumnya : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Muqbil bin Hâdî Al-Wâdi’î dan Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin. Juga simak kajian bersama Ust Abu Ahmad Zainal Abidin tentang   “Bahaya Televisi” http://www.suaraquran.com/download/ustzainal-%20bahaya_televisi.mp3%20

1. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : “Bagaimanakah hukum Televisi sekarang ini ?

Jawaban.
Televisi sekarang ini tidak diragukan lagi keharamannya. Sesungguhnya televisi merupakan sarana semacam radio dan tape recorder dan ia seperti nikmat-nikmat lain yang Allah karuniakan kepada para hambaNya.

Sebagaimana Allah telah berfirman: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya.” Pendengaran adalah nikmat, penglihatan adalah nikmat, demikian juga kedua bibir dan lisan.

Akan tetapi kebanyakan nikmat-nikmat ini berubah menjadi adzab bagi pemiliknya karena mereka tidak mempergunakannya untuk hal-hal yang dicintai Allah. Radio, televisi dan tape recorder saya kategorikan sebagai nikmat, akan tetapi kapankah ia menjadi nikmat ? yaitu ketika ia diarahkan untuk hal-hal yang bermanfaat untuk umat. Televisi dewasa ini 99 % di dalamnya menyiarkan kefasikan, pengumbaran hawa nafsu, kemaksiatan, lagu-lagu haram dan seterusnya, dan 1 % lagi disiarkan hal-hal yang terkadang bisa diambil manfaatnya oleh sebagian orang.

Maka faktor yang menentukan adalah hukum umum (faktor mayoritas yang ada dalam siaran televisi tadi), sehingga ketika didapati suatu negeri Islam sejati yang meletakkan manhaj / metode ilmiah yang bermanfaat bagi umat (dalam siaran televisi) maka ketika itu saya tidak hanya mengatakan televisi itu boleh hukumnya, bahkan wajib

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun I/VI/1422H. ]  http://www.almanhaj.or.id

3. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Segala puji hanya bagi Allah, rahmat dan kesejahteraan semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan sahabatnya. Wa ba’du : Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta telah meneliti pertanyaan yang diajukan dari Hifzhi bin Ali Zaini kepada pimpinan umum dan dipindahkan kepadanya dari sekretaris umum no. 1006 dan tanggal 19/12/1398H

Dan isinya adalah : Istri saya meminta dibelikan televisi dan saya tidak menyukainya. Saya berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian kepada kalian penjelasan tentang televisi. Apakah hukumnya haram atau makruh atau boleh. Di mana saya tidak menyukai membeli keperluan yang haram ?

Jawaban
Pesawat televisi itu sendiri tidak bisa dikatakan haram, dan tidak pula makruh dan tidak pula boleh. Karena ia adalah benda yang tidak berbuat apapun. Sesungguhnya hukumnya sangat tergantung dengan perbuatan hamba, bukan dengan dzat sesuatu. Maka membuat televisi dan menjadikannya (sebagai alat) untuk menyebarkan hadits atau program sosial yang baik, hukumnya boleh. Jika yang ditampilkan adalah gambar-gambar yang menggiurkan lagi membangkitkan syahwat, seperti gambar-gambar wanita telanjang, gambar laki-laki yang menyerupai perempuan dan yang sama pengertian dengan hal tersebut. Atau yang didengar adalah yang diharamkan, seperti lagu-lagu cabul, kata-kata yang tidak bermoral, suara para artis kendati dengan lagu-lagu yang tidak cabul. Nanyian laki-laki yang melembutkan suara dalam nyanyian mereka, atau menyerupai wanita padanya, maka ia diharamkan.

Dan inilah kebiasaan dalam penggunaan televisi di masa sekarang, karena kuatnya kecenderungan manusia kepada hiburan dan kekuasaan hawa nafsu atas jiwa kecuali orang yang dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sangat sedikit sekali.

Sebagai kesimpulan : Duduk di depan tetevisi atau mendengarkannya atau melihat acaranya, selalu mengikuti dalam penentuan hukum halal dan haram dari apa yang dilihat atau yang didengar. Terkadang sesuatu yang diperbolehkan untuk didengar dan untuk duduk di depannya menjadi dilarang karena faktor menyia-nyiakan waktu senggang dan berlebihan padanya, yang kadang kala manusia sangat membutuhkan kesibukan yang bermanfaat untuk dirinya, keluarganya dan umatnya dengan manfaat yang merata dan kebaikan yang banyak. Wajib bagi setiap muslim menurut agama, untuk tidak membelinya, mendengarkannya dan melihat yang ditayangkan di dalamnya ; karena merupakan sarana kepada mendengarkan dan melihat yang diharamkan.

Semoga rahmat dan kesejahteraan Allah tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

[Fatwa ini diucapkan dan didiktekan oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq] http://www.almanhaj.or.id

2.  Syaikh Muqbil bin Hâdî Al-Wâdi’î

Yang perlu diperhatikan adalah apabila gambar binatang yang tidak ada kepalanya seperti bintang laut, maka bagaimana cara menghapus gambar tersebut? Penghapusannya adalah dengan kamu potong sehingga menjadi seperti pohon. Adapun menggambar binatang-binatang, maka hukumnya adalah harâm karena binatang termasuk yang mempunyai nyawa, walaupun asalnya memang tidak mempunyai kepala (seperti bintang laut, –pent).

Adapun pendapat yang membolehkan menggambar (memotret) penjahat (pelaku kriminal) adalah tidak ada landasan dalîl sama sekali, bahkan dengan ditegakkan hukuman had adalah sudah cukup untuk memperingatkan pelaku kriminal tersebut, karena Allâh dan Rasûl-Nya tidak mengatakan, “Apabila ada penjahat maka penjahat tersebut digambar!”

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

“Dan Sungguh Rabbmu tidak pernah lupa.” (Maryam: 64)

Bahkan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ telah berfirman,

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِاْئَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh, jika kalian beriman kepada Allâh, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (An-Nûr: 2)

Allâh Ta’âlâ juga berfirman,

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allâh. Dan Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Mâ’idah: 38)

Allâh Ta’âlâ juga berfirman,

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allâh dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan menyilang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar.” (Al-Mâ’idah: 33)

Kemudian (yang lebih parah lagi, –pent) mereka para pemerintah tidak cukup dengan menggambar pelaku kriminal saja, bahkan mereka juga menggambar (memotret) para dai-dai yang berdakwah kepada Allâh karena menurut pemerintah mereka adalah para penjahat. Sungguh cukup bagi kami Allâh, sebaik-baik Yang Diserahi Urusan, sebaik-baik Pembantu dan sebaik-baik Penolong.

Dan pendapat yang mengatakan bolehnya menggambar untuk pengajaran adalah tidak berlandaskan dengan dalîl, bahkan hadîts-hadîts tentang dilaknatnya tukang gambar yang telah lalu mencakup semuanya. Dan juga dalam permasalahan ini, akan berakibat peremehan terhadap kemaksiatan menggambar yang muncul di kalangan para pelajar, yang berarti mereka bersiap-siap untuk mendapat laknat dari Allâh apabila mereka belum bâligh dan akan dilaknat apabila para pelajar tersebut telah bâligh, dibantu untuk melakukan kemaksiatan bahkan dijerumuskan ke dalamnya. Maka, di manakah tanggung jawab, sedangkan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban pada apa-apa yang dia pimpin.”

Dan sabdanya pula,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً ثُمَّ لَمْ يَحُطْهَا بِنُصْحِهِ إلا لَمْ يَجِـدْ رَائِحَةَ الْجَنّةَ

“Tidak ada seorang pemimpin pun yang Allâh jadikan dia memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak memimpin dengan penuh bimbingan, kecuali dia tidak akan mendapatkan (mencium) wanginya surga.”

Sungguh Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam telah memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak dengan pendidikan yang agamis, setiap anak yang dilahirkan di atas fithrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahûdî, Nashrânî, atau Majûsî. Beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak yang terlahir itu dilahirkan di atas fithrah, maka orangtuanyalah yang menjadikan mereka Yahûdî, Nashrânî, atau Majûsî.”

Beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda dengan apa yang beliau riwayatkan dari Rabb beliau (hadîts qudsî),

إِنِّى خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ فَاجْتَالَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ

“Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-Ku dalam keadaan betul dan lurus, kemudian syaitân-syaitân itulah yang menggelincirkannya.”

Maka, harâm bagi pengajar dan bagi pemerintah (pemimpin-pemimpin) untuk mengajarkan senirupa kapada pelajar.

Al-Imâm An-Nawawî rahimahullâh berkata dalam Syarah Shahîh Muslim juz 14 hal 81,

“Pengikut madzhab kami (madzhab Asy-Syâfi’iyah,-pent) dan para ulamâ selain mereka berkata, “Menggambar makhluk yang bernyawa hukumnya harâm dengan keharâman yang keras dan termasuk dosa besar, karena diancam dengan ancaman yang keras sebagaimana tersebut dalam hadîts-hadîts, baik orang yang membuat gambar itu bertujuan merendahkannya ataupun selainnya, perbuatannya tetap saja dihukumi harâm, apapun keadaannya. Karena perbuatan ini menandingi ciptaan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ, baik gambar itu dibuat pada pakaian, permadani, dirham atau dinâr, uang, bejana, dinding, dan selainnya.

Adapun menggambar pohon, pelana unta, dan selainnya yang tidak mengandung gambar makhluk bernyawa, tidaklah diharâmkan. Ini ditinjau dari hukum menggambar itu sendiri. Adapun mengambil gambar makhluk bernyawa untuk digantung di dinding, pada pakaian yang dipakai, atau pada sorban dan semisalnya yang tidak terhitung untuk direndahkan, maka hukumnya harâm. Bila gambar itu ada pada hamparan yang diinjak, pada bantalan dan semisalnya yang direndahkan, maka tidaklah harâm.”

Akan tetapi, apakah hal yang demikian itu dapat mencegah masuknya malaikat rahmah untuk masuk ke dalam rumah (yang ada gambar makhluk bernyawa)? Hal ini akan saya paparkan dalam waktu dekat, Insyâ’ Allâh. Dan tidak ada bedanya dalam hal ini antara gambar yang mempunyai bayangan (tiga dimensi) ataupun yang tidak mempunyai bayangan.

Ini adalah kesimpulan madzhab kami dalam permasalahan ini. Demikian pula yang semakna dengan pendapat ini, pendapat jumhur ulamâ dari para sahabat Rasûlullâh radhiyallâhu ‘anhum dan para tabi’in dan orang-orang setelah mereka serta madzhabnya Al-Imâm Ats-Tsaurî dan Al-Imâm Mâlik dan Al-Imâm Abû Hanîfah dan selain mereka. Dan sebagian salaf telah mengatakan, “Sesungguhnya yang dilarang di sini adalah kalau gambar tersebut berbentuk tiga dimensi, akan tetapi tidak mengapa jika gambar tersebut tidak mempunyai bayangan (tidak berdimensi).” Ini adalah madzhab yang batil karena tirainya ‘Âisyah yang telah diingkari oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam adalah gambar makhluk yang bernyawa yang ada padanya. Tidak seorang pun ragu bahwa tirai tersebut tercela, padahal gambar yang ada padanya bukan gambar yang mempunyai bayangan (tiga dimensi) dan juga pendapat (madzhab) ini batil berdasarkan hadîts-hadîts yang memutlakkan untuk setiap gambar.”

Az-Zuhrî rahimahullâh menyatakan bahwa larangan pada gambar ini umum, demikian pula penggunaan barang-barang yang terdapat gambar, dan masuk rumah yang ada gambarnya, baik gambar itu yang berada pada kain, atau gambar yang berbentuk patung (tiga dimensi), sama saja apakah di tembok, di pakaian, permadani/tikar yang dihinakan atau tidak dihinakan. Sebagai pengamalan zhahir hadîts-hadîts, terlebih lagi hadîts namruqah (tirai), yang disebutkan Al-Imâm Muslim. Dan ini adalah madzhab yang kuat, dan orang-orang lain mengatakan bolehnya menggunakan gambar itu ketika berbentuk gambar pada kain (bukan tiga dimensi), baik direndahkan atau tidak, dan sama saja apakah gambar-gambar itu tergantung di dinding-dinding ataupun tidak, dan mereka (ulamâ tsb.) membenci gambar-gambar yang mempunyai bayangan yang digantungkan di dinding-dinding dan selainnya, sama saja baik gambar-gambar itu berbentuk gambar (dua dimensi) atau tidak, dan mereka berhujjah dengan sabda beliau pada sebagian hadîts dalam bab ini (kecuali jika gambar tersebut berupa lukisan di baju), dan ini adalah madzhabnya Qâsim bin Muhammad, dan mereka telah sepakat tentang terlarangnya gambar makhluk bernyawa jika mempunyai bayangan dan wajibnya merubah gambar tiga dimensi tersebut.

Al-Qâdhî mengatakan bahwa terkecuali jika digunakan untuk bermain-main, pada permainan anak-anak perempuan yang masih kecil, maka yang demikian itu ada keringanan, akan tetapi Imâm Mâlik membencinya jika ada seorang laki-laki membeli mainan tersebut untuk anak-anak perempuannya, dan sebagian ulamâ mengatakan bahwa bolehnya (gambar makhluk bernyawa) untuk permainan anak-anak perempuan ini telah dimansukh (dihapus) dengan hadîts-hadîts ini. Wallâhu a’lam.

Ibnu Hajar di dalam kitabnya (Fathul Bârî) juz 10 halaman 391 telah menukilkan perkataan Ibnul ‘Arabi: Kesimpulan dari apa-apa yang dijelaskan tentang gambar makhluk bernyawa; jika berbentuk tubuh (tiga dimensi), maka hukumnya harâm menurut ijma’. Tetapi jika gambar itu berbentuk lukisan, maka di sini ada 4 pendapat,

1. Boleh secara mutlak dengan bersandar pada zhâhir dari sabda Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam pada hadîts bab ini, ‘Kecuali jika gambar itu berupa lukisan di baju.”

2. Larangan secara mutlak walapun gambar tersebut berupa lukisan.

3. Jika gambar tersebut telah berbentuk dengan sempurna maka hukumnya harâm, tetapi jika telah dipotong kepalanya atau terpisah-pisah bagian tubuhnya, maka hal ini tidak mengapa. Dan inilah pendapat yang paling baik dan benar.

4. Jika gambar-gambar tersebut termasuk yang dihinakan maka hukumnya boleh, tetapi jika untuk digantungkan pada dinding-dinding, maka hukumnya tidak boleh. Saya katakan (Syaikh Muqbil), “Dan pada pendapat yang akhir ini tidak ada dalil sama sekali.”


Gambar-gambar Makhluk Bernyawa yang Bersifat Darurat

Jika seseorang itu terpaksa harus menggunakan paspor, sama saja apakah untuk kepentingan haji atau selainnya di antara safar-safar yang harus dilakukan, atau KTP atau SIM atau Surat Keterangan Kerja atau uang kertas, maka yang demikian itu dosanya dibebankan kepada pemerintah yang telah memaksamu kepada ini semua.

Batasan darurat di sini adalah hilangnya kemashlahatan (kebaikan) yang wajib kamu lakukan apabila kamu tinggalkan gambar. Adapun gambar yang diminta dari para pelajar atau dari kemiliteran, hal ini bukan merupakan darurat, karena memungkinkan seorang pelajar untuk tidak menuntut ilmu di sekolah-sekolah dan bisa menuntut ilmu secara langsung dengan para ulamâ di masjid-masjid. Dan memungkinkan pula para tentara itu berpaling dan meninggalkan profesi kemiliterannya.

Di antara kemungkaran yang ada bahwasanya kita melihat gambar para ulamâ di koran-koran dan majalah-majalah. Dan yang lebih mungkar lagi dari ini adalah gambar-gambar yang terdapat pada kartu pemilihan umum yang dijadikan sarana untuk mendukung sistem demokrasi thâghût, dan yang lebih mungkar lagi adalah gambar-gambar perempuan pada acara pemilu itu. Dan bentuk kemungkaran yang besar pula ketika seseorang telah mengumpulkan manusia di masjid-masjid sementara itu fotografer atau kamerawan membidikkan kamera ke arahnya dan demikian pula foto-foto jamâ’ah haji di Mina dan ‘Arafah. Dan peralatan kamera diletakkan di Masjid ‘Uranah dan Masjidil Harâm dan yang selainnya termasuk pukulan terhadap syiar-syiar agama yang agung ini.

Dan alat-alat penayangan langsung itu adalah termasuk alat yang diharâmkan karena dianggap sebagai gambar makhluk bernyawa, dan manusia juga menamakannya sebagai gambar (makhluk bernyawa) sehingga hukumnya adalah harâm sebagaimana peletakan gambar-gambar pada pintu masuk atau penempelan di tembok.

(Dinukil dari حكم تصوير ذوات الأرواة (Hukum Menggambar Makhluk Bernyawa, Pandangan Syarî’at tentang Lukisan, Fotografi, dan Televisi); Bab: Harâmnya Tontonan yang Bergerak yang Berwujud Makhluk-makhluk Bernyawa, baik itu Televisi, Video, Bioskop, HP Berkamera, Kamera Pengawas Online dalam Lapangan Pertandingan, Gedung Pertemuan-pertemuan Umum, atau Tempat-tempat Penjagaan dengan Alat-alat Monitor, dan Gambar-gambar Makhluk Bernyawa yang Bersifat Darurat, karya Asy-Syaikh Muqbil bin Hâdî Al-Wâdi’î rahimahullâh, hal. 38-44 dan 88-89, Penerjemah: Abû Muhammad Farhân Al-Bantulî, Muraja’ah: Al-Ustâdz ‘Alî Basuki Lc., Penerbit: Penerbit Al-Ilmu Yogyakarta, cet. ke-1 Syawwal 1428H/November 2007, untuk http://akhwat.web.id)

Tentang lataghdhab
Herbal Shop Al-Khair | Mudah, Aman dan Amanah | Segala Kebaikan Obat Ada di Thibbun Nabawi dan Herbal Alami :: FORMAT PEMESANAN LEWAT SMS :: Jenis Produk, Jumlah#Nama#Alamat (RT/RW, Kel/ Kec, Kodepos)#No. HP#Bank KIRIM KE 081210110323. Barokallahu fykum

Tinggalkan komentar